Minggu, 30 Agustus 2020

Pertemanan dan Silaturahmi

Menurut teori sosiologi, "Manusia adalah makhluk sosial". Mungkin kita tidak bisa menyangkal hal tersebut. Sadar tidak sadar, kita pasti memiliki teman dekat, mungkin satu, dua atau lebih. Ya itulah teman yang menurut saya menarik untuk kita bahas. Ada kisah pahit, manis saat kita berteman dengan seseorang. Kisah ini yang kadang saat kita kenang membuat kita tersenyum sendiri. 

Tidak perlu diceritakan bagaimana kisah pahit manisnya kisah berteman kita. Cukup kita ingat, apa hal yang bisa diambil dari semua kisah itu. Kalo saya mengambil pelajaran saat bertemu dengan teman, kemudian teman tersebut menyapa kita, dan ternyata kita lupa. Kejadian ini baru saja terjadi pada saya, dan saya baru menyadari, bahwa teman saya bisa dibilang cukup banyak, walaupun banyak juga yang lupa siapa saja mereka. 

Saya mempunyai mimpi, mempunyai teman dimana-mana. Alasannya simpel, agar mudah bernaung saat kita berpergian. Bisa menghemat ongkos, juga ada teman bicara saat berpegian. Bisa dibayangkan bagaimana serunya saat berpergian, berangkat sendirian, tapi di tempat tujuan ada temannya. 

Akan tetapi ini akan terasa sulit saat kita mencoba untuk menjaga tali sulaturahmi tersebut. Bayangkan, dengan banyaknya teman, menjaga teman bagaimana agar tidak melupakan diri ini itu tidak mudah. Saat jarang berinteraksi, kita akan mudah lupa dengan teman kita tersebut. 

Pertanyaanya, bagaimana menjaganya agar teman tersebut tidak mudah lupa? Mudah perpanjang silaturahmi. Kalimat yang simpel dan sulit dilakukan. Sulit dilakukan karena menurut saya waktu kita terbatas untuk menjaga silaturahmi. Mungkin hanya alasan, karena saya tidak berusaha untuk menyediakan waktu untuk menjaga silaturahmi. 

Usaha kita dengan menjaga silaturahmi, akan membawa kita memiliki pertemanan yang berkualitas. Berkualitas dari berbagai macam perspektif. Oleh karena itu jagalah teman yang ada, dan perbanyaklah pertemanan. Agar hidup kita lebih indah dan lebih berwarna. 




Jumat, 21 Agustus 2020

Cinta, Kenapa Tidak

 Pembahasan cinta merupakan pembahasan yang cukup sulit bagi saya. Sulit karena saya pun tidak bisa memaknai apa itu cinta. Menurut banyak orang cinta itu adalah sakit, derita dan pengorbanan. Tapi sebagian yang lain menjelaskan cinta sebagai bentuk rasa kasih, bahagia, candu, dan kasih. 

Saya tidak bisa memaknai cinta, karena menurut saya cinta itu tidak bisa diukur. Sejauh yang saya tahu, tidak Love Meter di dunia. Sehingga sulit bagi saya memaknainya. Cinta orang tua kepada anak mungkin bisa dikategorikan cinta. Tapi menurut saya, itu sebuah hal yang wajar, atau setidaknya kewajiban orang tua pada anaknya. Semoga saya kredibel membacarakan ini, walaupun saya tidak bisa memahami apa itu cinta. 

Tidak hanya satu orang yang menyatakan cinta itu adalah rasa sakit. Perasaan sakit itu timbul biasanya saat sudah dikhianati cinta. Banyak juga orang merasa cinta itu derita, derita atas setiap pengobanan yang diberikan atas nama definisi cinta. Diantara kita mungkin merasa cinta itu jahat karena sudah terlalu sering dikhianati. Coba tengok drama-drama saat ini, pesan seperti ini cuku tergambar dalam beberapa cerita, walaupun tidak banyak yang drama yang mencerikan hal seperti ini. Uniknya, bagi sebagian orang, rasa sakit dari cinta itu candu alias nagih dan ingin kembali merasakannya. 

Bagi sebagian yang lain, cinta itu rasa kasih, dan bahagia. Banyak kebahagiaan yang diberikan cinta, menjadikan hidup penuh warna dan semangat. Kisah klasik cinta sering tergambarkan seperti ini, tidak terjal, bisa dicapai, membahagiakan. Film-film saat ini sangat sering mengambarkannya seperti uraian diatas. Bagi yang belum merasa terkhianati, atau mungkin sudah terkhianati tapi selalu merasa optimis dengan cinta akan selalu marasa cinta itu baik dan tidak bermata dua. 

Kembali, pemaknaan itu berbeda bagi setiap orang. Bagi saya demikian, bagi kalian belum tentu sama. Banyak kisah mengenai pemaknaan cinta, Nabi Muhammad dan istrinya, Romeo Julit, bahkan orang tua kita. Lantas dengan segala konsekuensinya, apakah kita perlu takut dan khawatir? Atau merasa bahagia? Pilihlah jalan kita sendiri untuk bisa mendifinisikan cinta itu sendiri. Cinta, kenapa tidak...

Minggu, 16 Agustus 2020

Antara Cita-cita dan Realita

 Teringat cita-cita pendiri bangsa "Indonesia Menjadi Macan Asia", lantas sudahkah menjadi Macan Asia? Jika belum,  kapan Indonesia menjadi Macan Asia? Saya pun ngga tau kapan. Salah satu media pernah mengatakan, tahun 2024 Indonesia memiliki kekuatan ekonomi nomer 4 di Asia. Apakah prediksi itu bisa benar-benar terjadi? Mari kita doakan, semoga usaha Indonesia mencapai cita-cita tersebut lebih baik lagi. 

Ya, itulah cita-cita bisa setinggi apapun, dan semimpi apapun. Banyak orang yang berkata, cita-cita harus terukur. Saya pribadi tidak setuju dengan kalimat tersebut. Terasa kurang. Silahkan bercita-cita setinggi apapun, sebaik apapun, setidak jelas apapun. Tidak ada yang salah dengan cita-cita kok. Tapi ada tapinya. 

Usahalah yang menentukan cita-cita itu berhasil. Usaha merupakan realita aktifitas untuk mengaktualisasikan mimpi. Usaha yang mengakibatkan banyak orang berpikir untuk merubah cita-citanya. Merasa tidak sanggup untuk mencapai cita-citanya kemudian menyerah. 

Bolehkan menyerah? Boleh saja, tapi seberapa kuat kita mempertahankan cita-cita tersebut. Semakin sering berubah, semakin tidak niat dengan cita-citanya. Dititik inilah ujian kita, sekuat apa usaha kita untuk mempertahankan cita-cita. 

Banyak orang sukses yang berani mempertahakan cita-citanya dengan mengorbankan banyak hal. Uncle Stive mempertahakan Apple dengan cita-citanya. Bisa dilihat di salah satu film dokumenternya. Tapi saat ini, tidak ada yang bisa mengalahkan Apple, walaupun Microsoft sudah berusaha. Mungkin Uncle Stive sulit bahkan sangat sulit. Jika sulit, mungkin kita bisa mencontoh orang tua kita. Cita-cita orang tua pasti ingin anaknya lebih baik dari orang tua. Simple, tapi sulit dilakukan. Banyak pengorbanan orang tua untuk mereliasikan cita-cita itu.

Oleh karena itu, usaha kita harus sebaik mungkin, sekeras mungkin, sekuat mungkin. Cita-cita, realitas dapat saling berkesinambungan dengan usaha kita. Semakin besar cita-cita, maka semakin besar usahanya untuk mencapai realitas yang ada. Sulit tapi itulah tantangannya. 

Minggu, 02 Agustus 2020

Perluas Pergaulan

Gaul merupakan istilah yang tidak asing bagi kita semua. Bagi sebagian dari kita gaul itu didefinisikan memiliki banyak ilmu pengetahuan. Misalnya "Ahhh, ngga gaul lu" saat ditanyak pengetahuan kita mengenai suatu hal. Saya tidak tahu persis apa arti gaul sebenarnya. Bagi saya, gaul itu memiliki teman dari berbagai kalangan. Jika kalian mendefinisikan dengan hal yang berbeda, ngga masalah. Toh, berhak itu berbeda pendapat. 

Dalam era yang modern ini, pergaulan mencerminkan seberapa cerdas orang itu. Semakin luas pergaulannya semakin cerdas. Tapi tidak menutup kemungkinan, tidak luas pergaulan malah jadi tidak pintar. Alasan kenapa semakin luas pergaulan semakin cerdas, karena memiliki berteman dengan banyak orang dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Memiliki sudut pandang yang berbeda-beda itu asyik karena bisa memahami banyak hal yang kita tidak ketahui. Akan semakin cerdas, jika kita mau belajar dari pergaulan itu. Bukankah hidup itu adalah pelajaran?

Bertemen dengan siapapun itu, kalangan manapun itu merupakan hal yang cukup bermanfaat di abad ini. Selain banyak hal yang kita dapatkan, peluang tertentu juga kadang ada. Mungkin bisa dibilang nepotisme, tapi menurut saya tidak. Karena definisi nepotismekan menguntungkan keluarga, bukan pertemanan. Peluang itu hadir karena rekan-rekan kita percaya dengan kita, karena kita berkawan dengannya. 

Tapi apakah perlu punya teman yang sangat dekat? Menurut saya sih perlu, dengan alasan kita perlu bercerita hal yang tidak bisa kita ceritakan ke setiap orang. Menyimpan masalah sendiri tanpa ada saran sebagai input akan bikin pusing doang. Tapi kembali, perluaslah pergaulan. 

Kalian pasti pernah lihat orang yang sangat luas pergaualnnya. Saat kemana saja atau butuh apa saja, eh ternyata ada teman yang bisa membantu. Saya juga kadang iri kok melihat orang saat pergi ke daerah tertentu ada ternyata ketemu temannya, padahal tujuannya bukan bertemu teman. Setidaknya ada yang menemani di daerah tersebut. 

Tapi memiliki pergaulan yang luas memang kadang tak murah dan mudah. Bisa saja jadi sering nongkrong yang menghabisakan banyak biaya. Tetapi ada juga kok, yang ternyata pergaulannya karena hobi yang sama. Ini yang kayanya sulit untuk dicari. 

Saya sendiri mengakui pergaulan saya tidak luas, dan cenderung itu-itu saja. Tapi tetap berusaha untuk memperluas pergaulan, walaupun susah-susah gampang. Setidaknya masih berusaha, dari pada tidak sama sekali.