Minggu, 30 Agustus 2020
Pertemanan dan Silaturahmi
Jumat, 21 Agustus 2020
Cinta, Kenapa Tidak
Pembahasan cinta merupakan pembahasan yang cukup sulit bagi saya. Sulit karena saya pun tidak bisa memaknai apa itu cinta. Menurut banyak orang cinta itu adalah sakit, derita dan pengorbanan. Tapi sebagian yang lain menjelaskan cinta sebagai bentuk rasa kasih, bahagia, candu, dan kasih.
Saya tidak bisa memaknai cinta, karena menurut saya cinta itu tidak bisa diukur. Sejauh yang saya tahu, tidak Love Meter di dunia. Sehingga sulit bagi saya memaknainya. Cinta orang tua kepada anak mungkin bisa dikategorikan cinta. Tapi menurut saya, itu sebuah hal yang wajar, atau setidaknya kewajiban orang tua pada anaknya. Semoga saya kredibel membacarakan ini, walaupun saya tidak bisa memahami apa itu cinta.
Tidak hanya satu orang yang menyatakan cinta itu adalah rasa sakit. Perasaan sakit itu timbul biasanya saat sudah dikhianati cinta. Banyak juga orang merasa cinta itu derita, derita atas setiap pengobanan yang diberikan atas nama definisi cinta. Diantara kita mungkin merasa cinta itu jahat karena sudah terlalu sering dikhianati. Coba tengok drama-drama saat ini, pesan seperti ini cuku tergambar dalam beberapa cerita, walaupun tidak banyak yang drama yang mencerikan hal seperti ini. Uniknya, bagi sebagian orang, rasa sakit dari cinta itu candu alias nagih dan ingin kembali merasakannya.
Bagi sebagian yang lain, cinta itu rasa kasih, dan bahagia. Banyak kebahagiaan yang diberikan cinta, menjadikan hidup penuh warna dan semangat. Kisah klasik cinta sering tergambarkan seperti ini, tidak terjal, bisa dicapai, membahagiakan. Film-film saat ini sangat sering mengambarkannya seperti uraian diatas. Bagi yang belum merasa terkhianati, atau mungkin sudah terkhianati tapi selalu merasa optimis dengan cinta akan selalu marasa cinta itu baik dan tidak bermata dua.
Kembali, pemaknaan itu berbeda bagi setiap orang. Bagi saya demikian, bagi kalian belum tentu sama. Banyak kisah mengenai pemaknaan cinta, Nabi Muhammad dan istrinya, Romeo Julit, bahkan orang tua kita. Lantas dengan segala konsekuensinya, apakah kita perlu takut dan khawatir? Atau merasa bahagia? Pilihlah jalan kita sendiri untuk bisa mendifinisikan cinta itu sendiri. Cinta, kenapa tidak...
Minggu, 16 Agustus 2020
Antara Cita-cita dan Realita
Teringat cita-cita pendiri bangsa "Indonesia Menjadi Macan Asia", lantas sudahkah menjadi Macan Asia? Jika belum, kapan Indonesia menjadi Macan Asia? Saya pun ngga tau kapan. Salah satu media pernah mengatakan, tahun 2024 Indonesia memiliki kekuatan ekonomi nomer 4 di Asia. Apakah prediksi itu bisa benar-benar terjadi? Mari kita doakan, semoga usaha Indonesia mencapai cita-cita tersebut lebih baik lagi.
Ya, itulah cita-cita bisa setinggi apapun, dan semimpi apapun. Banyak orang yang berkata, cita-cita harus terukur. Saya pribadi tidak setuju dengan kalimat tersebut. Terasa kurang. Silahkan bercita-cita setinggi apapun, sebaik apapun, setidak jelas apapun. Tidak ada yang salah dengan cita-cita kok. Tapi ada tapinya.
Usahalah yang menentukan cita-cita itu berhasil. Usaha merupakan realita aktifitas untuk mengaktualisasikan mimpi. Usaha yang mengakibatkan banyak orang berpikir untuk merubah cita-citanya. Merasa tidak sanggup untuk mencapai cita-citanya kemudian menyerah.
Bolehkan menyerah? Boleh saja, tapi seberapa kuat kita mempertahankan cita-cita tersebut. Semakin sering berubah, semakin tidak niat dengan cita-citanya. Dititik inilah ujian kita, sekuat apa usaha kita untuk mempertahankan cita-cita.
Banyak orang sukses yang berani mempertahakan cita-citanya dengan mengorbankan banyak hal. Uncle Stive mempertahakan Apple dengan cita-citanya. Bisa dilihat di salah satu film dokumenternya. Tapi saat ini, tidak ada yang bisa mengalahkan Apple, walaupun Microsoft sudah berusaha. Mungkin Uncle Stive sulit bahkan sangat sulit. Jika sulit, mungkin kita bisa mencontoh orang tua kita. Cita-cita orang tua pasti ingin anaknya lebih baik dari orang tua. Simple, tapi sulit dilakukan. Banyak pengorbanan orang tua untuk mereliasikan cita-cita itu.
Oleh karena itu, usaha kita harus sebaik mungkin, sekeras mungkin, sekuat mungkin. Cita-cita, realitas dapat saling berkesinambungan dengan usaha kita. Semakin besar cita-cita, maka semakin besar usahanya untuk mencapai realitas yang ada. Sulit tapi itulah tantangannya.